Analisis Pribadi: Daerah Paling Aman Dari Jajahan, Mantan Pejuang,dan KIK
(Kartu Identitas Kendaraan)
Suatu ketika aku lagi jalan keluar dari fakultasku (Ilmu Budaya), berjalan
menuju ke lapangan Grha Sabha Pramana karena aku nungguin temen-temen aku di
sana untuk rapat. Pas sudah sampai sana aku ternyata datang paling awal karena
di sana tidak ada siapa-siapa, kecuali...(deg! bayangin lagu pengiringnya
menjadi lagu perjuangan).
Seorang kakek berbaju batik dan berpeci hitam sedang berdiri di depan tiang
bendera GSP (Grha Sabha Pramana). Matanya terus memandang bendera yang berkibar
dengan berkaca-kaca (heran,tuh mata gak pedes apa ya ketancepan
"kaca"). Sebagai mahasiswa yang sopan aku pun menyapa dengan menepuk
pundaknya.
"Pak...," kataku sopan.
Eh dia malah melompat kaget.
"Eh,MONCROOOT!" ni kakek ternyata ABG TUA ALAY! Udah kagetan,
latah lagi.
"Maaf Kek."
"Maaf-maaf. Jangan tepuk pundak saya sembarangan ya! Saya kan jadi
kaget." kata Kakek itu berusaha gagah (mirip Olga kalo lagi akting gagah)
"Ya maaf Kek. Kakek di sini ngapain Kek?"
"Ah, saya cuma sedang galau saja melihat suasana UGM."
Ni Kakek kayaknya emang labil deh.
"Hah? Masak? Emang kenapa Kek?"
"Duduk dulu Nak, Kakek akan cerita," kata beliau sambil menunjuk
ke anak tangga di belakang tiang bendera. Ni Kakek emang aneh. Belum kenal udah
ngajak tidur, eh maaf masksudnya duduk.
"Nama kamu siapa Nak?" tanya Kakek itu. Huft akhirnya, aku takut
setengah mati kalau tuh kakek udah tua, labil, alay, HOMO lagi! Hiiiiiii..
Untung dia kenalannya biasa saja. Meskipun aku masih was-was.
"Nama saya Ganes, Kek." Aku ragu salaman sama beliau cuy!
"Oh, Ganes. Saya Pay."
MAKSUDNYA??? Kalau aku orang PEMDA udah aku tanyain nih orang AKTE KELAHIRAN
dan KTP. Masak setua itu namanya PAY?
"Hmm...Pay?"
"Pasti heran dengan "nama panggung" saya. Sebenarnya saya itu
namanya PAIJO."
Kalau aku bawa tongkatnya Kera Sakti udah aku gebukin nih orang. Tapi, coba
kita tes dia alay atau enggak.
"Namanya tadi siapa kek?"
"Pay alias Paijo bin Slamet."
"Nama akun Facebook?"
"m4s P4y seLLalub3RsAmaMu."
KAAAAABUUUUUUUUUUUUUUUUR!
"Hei! jangan kabur!"
"Ogah! Kakek alay!"
"Gak apa-apa, biar alay tapi aku gak maho kok!"
“Sama aja!”
“Sudah, sini. Mau di’crit’ sama Kakek gak?”
“Crit? Apaan?” kataku sambil panik pegang pantat aku.
“Di’critain’. Mau gak? Kakek ceritain tentang masa Kakek dulu berjuang.”
“Hah? Berjuang? Kakek mantan pejuang? Sumpeh loe?”
“Sumpeh deh!” kata Kakek sambil mengacungkan tangan.
Aku pun pelan-pelan mendekati kakek itu dan duduk di sampingnya (bukan
samping sih, karena jarakku duduk dengan kakek sekitar 5 meter).
“Begini, Nak ceritanya,” kata Kakek sambil melihat atas dan...Busyet! Di
atas tuh kakek ada kabut dengan menampilkan beberapa adegan sesuai perkataannya
(kayak di film kartun).
“Cepetan Kek!”
“Ya, dahulu kala Kakek adalah pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
“Ckckckckck...bohong banget,” celetukku.
BRAAAK!
Kepalaku pusing karena ditinju ama tuh Kakek.
“Maaf Kek. Lanjutkan!”
“Siap, LANJUTKAN!”
Jadi percaya kalau nih kakek dulu tentara.
“Eh, Kek aku mau tanya dulu.”
“Apa?”
“Emang dulu Kakek pangkatnya apa waktu itu?”
“Kakek berpangkat AKAP.”
“AKAP? Ama AKBP apanya?”
“AKAP itu Antar Kota Antar Provinsi!”
Si Kakek mulai aneh.
“Sebelum pangkat AKAP apa Kek?”
Aku pun ikut gak jelas.
“AKDP alias Antar Kota Dalam Provinsi.”
Benerkan apa aku bilang. Jangan-jangan ni kakek gila.
“Terus kakek apalagi yang bisa dibanggain? Posisi Kakek waktu itu apa?”
“Aku dulu pernah ikut yang di Kopasus dan Bareskrim.”
“Wow! Hebat! Apaan tuh?”
“Kopasus itu Komando Pasukan Aduk-Aduk Susu, sedangkan Bareskrim itu Bagian
Resik-Resik dan Kirim-Kirim (bagian bersih-bersih dan kirim-kirim).”
Pasrah! Ni Kakek kayaknya dulu emang tentara tapi jadi gila gara-gara salah
nelen peluru karet.
“Terus Kakek punya cerita apalagi?”
“Kakek punya rahasia penting tentang daerah-daerah istimewa di Indonesia
yang tidak dapat dikuasai oleh Belanda sampai kapanpun!” kata Kakek menjadi
serius dan lagu pengiring berubah menjadi lagu-lagu tegang di sinetron “Muka
Yang Ditukar”.
“Hah? Masak ada daerah yang susah dikuasai? Mana?”
“Yaitu daerah.... Bulak Sumur. Atau di daerah inilah Belanda tidak dapat
mengusai UGM atau Bulak Sumur secara langsung.”
“Hah? Mana mungkin?”
“Tidak percaya? Ayo ikut Kakek.”
Kakek pun berdiri dan berjalan dengan tegap di depanku. Lagu-lagu kuno mulai
terdengar. Teriakan burung rajawali terdengar sangat keras di atas kami.
Ternyata Kakek memanggil burung itu dan Kakek mengajakku naik burung rajawali
itu.
“Ayo naik, Yoko!” (Adegan berubah menjadi Pendekar Rajawali yang sedang naik
burung itu)
Kita pun terbang menuju ke selatan ke arah tujuan dimana Kakek akan menunjukkan
bukti bahwa daerah UGM sulit ditembus penjajah.
Sesampainya...
“Lhoh! Kek, ini kan Bundaran UGM.”
“Ya, di sinilah gerbang masuk utama UGM.”
“Lalu apa hubungannya dengan Belanda tidak bisa menjajah?”
“Dulu, saat Belanda datang dengan ratusan mobil perang dan ratusan tank
menuju ke sini, yang menghadapi hanya Kakek seorang.”
“APA? HOAX banget deh. Gimana caranya Kakek masih sehat wal roji’un gini
kalau dulunya menghadapi ratusan tank?”
“Saat itu Kakek hanya berdiri di gerbang UGM saat tank-tank itu akan masuk.
Hanya dengan ucapanku, para penjajah itu tidak jadi masuk ke Bulak Sumur.”
“Tuh kan. Kakek gila! Aku anter ke (Rumah Sakit) Sardjito aja deh! Udah
deket dari sini,” kataku emosi pada Kakek. “Emangnya Kakek ngomong apa ke
penjajah itu?”
“Kakek bilang ‘HEI MISTER! KAMU ORANG MAU PADA MASUK BULAK SUMUR? KALIAN
PUNYA KARTU IJIN KENDARAAN (KIK) TIDAK? KALAU TIDAK TIAP KENDARAAN MASUK HARUS
BAYAR. SEPEDA MOTOR 1000 RUPIAH DAN MOBIL 2000 RUPIAH!”
Aku hanya mlongo dengan pernyataan kakek.
“Hebat bukan, Nak? Belanda pasti mikir-mikir kalau gak punya KIK harus bayar
tiap kendaraan sedangkan kendaraan mereka ada banyak. Ya Belanda bakal
kehabisan uang dulu sebelum masuk ke UGM. Hahahahahahaha,” kata Kakek dan
tertawa sampai giginya rontok semua.
Aku pun EMOSI dan pergi pulang ke kampus mengendarai rajawali Kakek itu.
-TAMAT-
itu t4 kami... haha
BalasHapusya,begitulah salah satu jokes tentang KIK di UGM
BalasHapus